Dalam sejarah perjuangan dan gerakan sosial di Indonesia, hampir selalu terjadi kesenjangan antara tradisi dan dunia modern. Juga antara kaum tua dan muda. Kesenjangan itu, karena tidak di tengahi dengan baik, sering menjadi faktor yang menyuburkan pertentangan antar kelompok dan menunda keberhasilan perjuangan kolektif disetiap generasi.
Namun, dalam sejarah NU, kesenjangan itu selalu bisa di atasi dan dikelola dengan munculnya seorang tokoh yang mampu mendamaikan kedua belah pihak dengan baik.
KH. Wahid Hasyim adalah sebuah contoh indah dimana kehadirannya di tengah NU mampu membangun sinergi antara tradisi dan kemodernan, antara kiai-kiai sepuh dan kaum muda NU.
Wahid Hasyim merupakan anak kelima dan anak laki-laki pertama dari sepuluh bersaudara, lahir pada hari Jumat, 1 Juni 1914 di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Nama aslinya Abdul Wahid, namun saat menginjak dewasa ia lebih senang menulis namanya dengan cara menambahkan nama ayahnya di belakang nama ayahnya sendiri sehingga menjadi A. Wahid Hashim.
Aktifitas Wahid Hasyim di NU dimulai pada tahun1938. Karir pertamanya dalam NU ialah sebagai sekretaris NU ranting Cukir, tingkatan paling bawah dalam struktur organisasi NU. Tak lama kemudian ia langsung menjadi ketua NU cabang Jombang. Dua tahun selanjutnya, ia diserahi tugas memimpin bagian Ma'arif (pendidikan dan pengajaran) dari pengurus besar NU (PBNU) dan berkedudukan di Jawa Timur.
Kepiawaiannya dalam berorganisasi dan berpolitik membuatnya terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selain itu, Wahid Hasyim juga menjadi pemimpin di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi yang ikut ia dirikan bersama M. Natsir dan beberapa tokoh Islam lainnya pada tahun 1945.
Gagasan tentang pengembangan sistem pendidikan umum (Madrasah Nidzamiyah) di lingkungan pesantren Tebuireng Jombang tahun 1936 dan berbagai inovasi yang ditawarkan ketika menjadi Menteri Agama RI (1949-1952) mampu menjembatani secara efektif antara tradisi pesantren dan dunia modern, antara kaum tua dan kaum muda.